Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Resume Mata Kuliah Hukum Agraria (Pertanahan) - roedyLawyers

BAB I
PENGERTIAN HUKUM AGRARIA DAN HUKUM TANAH

A. Istilah Agraria

Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti  tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Dalam UUPA (UU No. 5 tahun 1960) tidak  memberikan pengertian agrarian.Ruang lingkup agrarian menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnnya (BARAKA).

B. Pengertian Agraria menurut UUPA :

Dapat berarti luas

Diatur dalam pasal 1 ayat 2 yang meliputi bumi, air, dan ruang Angkasa.
  1. bumi (pasal 1 ayat4 UUPA) meliputi: permukaan bumi, tubuh bumi dan bawahnya, tubuh bumi, yang berarti dibawah air
  2. Pengertian air (pasal 1 ayat 5 UUPA)  meliputi: perairan pedalaman, laut wilayah Indonesia hal tersebut diatas diatur dalam Pasal 1 ayat 4,5 UUPA
  3. Pengertian ruang angkasa (pasal 1 ayat 6), adalah ruang diatas bumi serta kekayaan alam     yang terkandung didalamnya(UU No. 7 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan)        

Dalam arti sempit

diatur dalam pasal 4 ayat 1 UUPA yaitu " Tanah " dalam pasal 4 ayat 1 ditentukan, bahwa adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah tersebut.

Jadi pengertian agraria dalam arti sempit adalah permukaan bumi yang disebut tanah.
 

C. Pengertian Hukum Agraria

Menurut Soedikno Mertokusumo, Hukum Agraria adalh keseluruhan kaedah hokum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agrarian.
 
Menurut Budi Harsono, Hukum agrarian merupakan satu kelompok berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atau sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agrarian. MIsal Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum Pertambangan, Hukum Perikanan, Hukum Atas Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa.
 
Menurut E. Utrecht, Hukum Agraria dalam arti sempit sama dengan Hukum Tanah.Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian Hukum Tata Usaha Negara.

D. Pengertian Hukum Tanah

Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu”Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hokum”.
 
Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak-hak atas tanah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua panjang dan lebar. Sedangkan Ruang dalam pengertian yuridis, yang terbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar dan tinggi yang dipelajari dalam Hukum Tata Ruang.
 
Yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “mempergunakan” berarti hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan. Perkataaan “mengambil manfaat” berarti tanah itu digunakan untuk kepentinga bukan mendirikan bangunan, misalnya , pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.
 
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hokum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hokum dan hubungan-hubungan hokum yang kongkret.
 
Objek Hukum Tanah adalah Hak Penguasaan Atas Tanah, yang berarti hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
 
Hierarkhi Hak-hak Penguasaan Atas Tanah dalam Hukum Tanah nasional adalah:
  1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah
  2. Hak menguasai dari Negara atas tanah
  3. Hak ulayat masyarakat hokum adapt
  4. Hak-hak perseorangan, meliputi: Hak-hak atas tanah, Wakaf tanah hak milik, Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan), Hak Milim atas satuan rumah susun.

Hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada dua macam asas dalam ukum Tanah yaitu:
  1. Asas Accesie atua Asas Perlekatan, Yaitu bangunan dan tanaman yang ada diatasnya merupakan suatu kesatuan
  2. Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal, Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian dari tanah.

BAB II
ADMINISTRASI PERTANAHAN 

A. Administrasi Pertanahan

Administrasi Pertanahan termasuk dalam bidang Administrasi Negara (Public Administration). Administrasi Negara sebagai keseluruhan yang dilakukan oleh seluruh Aparatur Pemerintah dan suatu Negara dalam usaha mencapai tujuan Negara.
 
Dalam fungsinya, administrasi Negara mempunyai tugas utama yakni:
  1. Menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dicapai (organizasional goal);
  2. Menentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut seluruh organisasi (general and over allpolicies).

Administrasi Pertanahan pada Zaman Pemerintahan Belanda

Administrasi pertanahan dijalankan berpedoman pada politik hokum pertahan colonial pada waktu itu. Dasar peraturan yang berlaku dengan berpedoman pada pasal 163 (1) IS (Indische Staatsregeling), yang membagi tiga golongan masyarakat:
  1. Golongan Indonesia
  2. Golongan Eropa
  3. Golongan Timur Asing

Akibat adanya penggolongan masyarakat diatas, menimbulkan hukum yang beraneka ragam yang berlaku.Dari pasal 163 dan pasal 131 IS berlaku dua macam hukum yaitu: Hukum tertulis atau hukum undang-undang. Sebagian besar terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW)
Hukum yang tidak tertulis atau hukum agrarian yang terdapat dalam hukum adapt.
 
Adapun hukum agararia yang berlaku pada zaman pemerintah Belanda adalah:
  1. Agrarische Wet (S. 1870 - 55 )
  2. Domein Verklaring ( S. 1870-118 a) / pernyataan Domein : Algemene Domein Vewrklaring ( S. 1875-119a ), DomeinVerklaring untuk Sumatera Ps 1 dari     S. 1874-94 f, Domein Verklaring untuk Residentie Manado dim Ps 1 dari 1877-55, Domein Verklaring untuk Residentie Zwider en Ooster fdeling van Borneo ( ps 1. S. 1888-8 )
  3. Koninklijk Besluit/ keputusan raja tgl 16 april 1872 no 29 S. 1872­117 dan peraturan pelaksanaannya.
  4. Buku II KUH Perdata

Ad. I Agrarisch Wet bertujuan
  1. memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan memberikan tanah2 negara Dg hak Erfpacht s/d 75 th
  2. memberikan kemungkinan bagi pengusaha untuk menyewakan tanah adat.
  3. memperhatikan kepentingan rakyat asli
  4. melindungi hak2 tanah rakyat ash
  5. memberi kesempatan pd rakyat ash untuk memperoleh  hak tanah baru ( Agrarische Eigendom )

Ad. II DomeinVerklaring ( Pernyataan Domein )
Asas  " semua tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya hak eligendom atas tanah tsb oleh orang lain adalah domein negara "
 
Jadi Berdasar hukum adat: tidak mempunyai bukti otomatis menjadi tanah negara ( Domein Negara ) j adi tidak sama dengan ps 570 BW
 
Ad III. Koninkljk Besluit/ Keputusan Raja
 
Hak agrarische Eigendom
Hak yang bertujuan memberi kpd pribumi suatu hak yang kuat atas sebidang tanah

Administrasi Pertanahan pada masa sesudah kemerdekaan sebelum berlakunya UUPA (1945-1960). Pada masa ini semula urusan agraria menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri.Tanggal 29 Maret 1955 dengan Kepres No. 55/1955, dibentuk Kementerian Agraria.Perlu diketahui bahwa pada masa ini yang berlaku adalh UUDS 1950 dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini berlaku sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dan berlaku kembali UUD 1945  dan sejak saat itu berlaku ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Administrasi Pertanahan menurut UUPA (UU No. 5 tahun 1960). Untuk mengakhiri politik, tujuan,asas-asas hukum agraria jajahan, maka dibentu hukum tanah nasionalyang berdasar hukum adat tentang tanah dengan memberikan wewenang hak menguasai negara atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak Menguasai dari Negara memberi wewenang untuk:
  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi air dan ruang angkasa
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa

BAB III
HAK-HAK ATAS TANAH 

Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat 1 dan 2 UUPA menyatakan:
  1. Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum
  2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 adalah: hakmilik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalm hak-hak yang tidak tersebut diatas.
 
Hak-hak atas tanah menurut UUPA antara lain:
Hak milik (ps 20 ). Adalah hak turun temurun, terikat dan terpenuh (psikologis emosional ) yang dapat dipunyai orang atas tanah yang mengingat ps 6.
Ps 6 : semua hak atas tanah mempunyai fungsi social. Hak Milik tidak terbatas jangka waktunya. Hak Milik dapat beralih ex pewarisan dll. Hak Milik dapat menjadi jaminan utang yang di bebani Hak Tanggungan. Biaya tanah milik yang dapat diwakafkan ( ps 49 UUPA ). Biaya tanah milik setelah bukan HM. Yang dapat mempunyai HM : MNI. BH dengan syarat. Terjadinya HM : pewarisan, hibah ybs jual beli
 
Hapusnya HM : (ps 27 )
  • Tanah jatuh kepada negara
  • karena pencabutan hak berdasar ps 18
  • karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya
  • karena diterlantarkan
  • karena ps 21 ayat 3 yi : orang asing ... ps 26 ayat 2 yi : jual bell, hibah, dsb
  • Tanahnya Musnah

HGU (Ps 28)
adalah hak untuk mengukuhkan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, selama jangka waktu yang tersebut dan ps 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, peternakan.
 
Ps 29:
  1. HGU max 25 tahun
  2. untuk perusahaan karena waktu lama dapat dengan 35 tahun
  3. dapat diperpanjang max 25 tahun.

Yang dapat mempunyai HGU adalah:
  1. WhTI
  2. badan2 yang didirikan menurut hk Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Terjadinya HGU karena penetapan pemerintah HGU dapat dijadikan/ dibebankan hak tanggungan
 
Hapusnya HGU
  • jangka waktunya berakhir
  • dihentikan sebelum berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi
  • dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
  • dicabut untuk kepentingan umum
  • diterlantarkan
  • tanah musnah
  • ketentuan dim ps 30 ay 2. (karena memberi syarat ... )

HGB: (ps 35 )
  1. yi : hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan2 atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, hal ini atas peraturan penanggung hak bisa diperpanjang 20 tanhun. Yang dapat mempunyai HGB
  2. WNI
  3. Badan hokum yang didirikan menurut hokum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
  4. WN asing yang bertempat tinggal di Indonesia, dibatasi  luas dan jumlah bidang tanah yang dikuasai, khusus untuk bertempat tinggal.
  5. BH yang didirikan menurut hokum asing dan mempunyai perwalian di Indonesia untuk kegiatan yang menguntungkan  bagi kepentingan Nasional.
Badan Perwakilan Negara Asing dan organisasi resmi Internasional
 
HGB terjadinya :
  1. mengenai tanah, yang dikuasai langsunbg oleh negarakarena penetapan Pemerintah
  2. mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang berangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu yang bermaksud   menimbulkan halt tersebut.

HGB dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (ps39)

Hapusnya HGB
  1. jangka waktunya berakhir
  2. dihentikan sebelum berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi
  3. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
  4. d, dicabut untuk kepentingan umum
  5. diterlantarkan
  6. tanah musnah
  7. ketentuan dlm ps 36 ay 2. (Yi : org / BH yang tidak    memenuhi syarat ... )

Hak Pakai (ps 41)

adalah : hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa­ menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UU 'Mi.
 
Cara memberikan hak pakai
  1. selama j angka waktu yang tertentu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
  2. dengan Cuma2 dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
  3. pemberian hak pakai tidak boleh dan disertsi syarat2 yang  mengandung pemerasan

Catatan :
  • tanah yang dikuasai Negara: hak pakai kalau mau dialihkan dengan izin pejabat yang berwenang
  • hak pakai atas tanah milik : dapat dialihkan asal dimungkinkan  dalam perjanjian yang bersangkutan

Hak pakai khusus disediakan
  1. instansi Pemerintah, Pemda, Desa dsb
  2. Gedung Kedutaan dan Ruma Tangga Kepala Perwakilan Negara2 sahabat 
  3. Badan2 Keagamaan dan Sosial

Hak pakai tidak boleh dipakai sebagai Hak Tanggungan.     

Penetapan Hak Atas Tanah

Hak atas dimulai dari pengkajian terhadap bentuk-bentuk penguasaan tanah yang diakui sebagai miliknya dari segi riwayat perolehannya, kekuatan hubungan hukumnya dengan tanah tersebut. Pemilik tanah akan menunjukkan dimana letak tanahnya,batas-batasnya, dan dimana tanah tersebut diperoleh. 


Bentuk yang paling sederhana dari penguasaan tersebut adalah:
  1. dikuasai berdasarkan pembukaan tanah
  2. dikuasai karena diperoleh dari pembagian tanah dari Negara
  3. karena penetapan undang-undang
  4. karena title hokum umum seperti warisan,hibah, hadiah, jual beli, tikar menukar
  5. konsolidasi tanah

Mekanisme penetapan hak atas tanah adalah:
  1. berdasarkan buku kedua tentang konversi terhadap hak-hak lama yang sudah ada sebelum berlakunya UUPA (pasal 22 ayat 3) missal Hak Epacht dikonversi menjadi hak guna usaha, Hak postal dikonversi menjadi hak guna bangunan, hak eigendom dikonversi menjadi hak milik
  2. berdasarka penetapan pemerintah (pasal 22 ayat3)

Pengaturan hak atas tanah tersebar dalam berbagai aturan peraundang-undangan antara lain:
  1. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1961 tentang penetapan terhadap Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah termasuk penghapusannya.
  2. Hak Pengelolaan masih tersebut dalam Permendagri No. 1 tahu 1977 jo PMNA/KBPN No. 9 tahun 1999, sedangkan pengaturan Hak Milik belum ada pengaturannya.

Tahap-tahap proses penetapan hak atas tanah secara garis besar adalah:
  1. Pemohon mengajukan bukti dan riwayat perolehan serta hubungan hukum penguasaan dengan tanah yang dimohonnya
  2. Pemohon menunjukkan dimana letak dan pengakuan titik-titik batas tanah yang dimohonnya tersebut

Pengujian letak dan batas-batas tanah tersebut dengan kegiatan pengukuran yang meliputi:
  1. mengukur dan menetapkan batas-batas tanah yang ditunjukkannya
  2. menguji dengan data-data fisik, yuridis, administrasidi kantor BPN yang bersangkutan
  3. meminta pengakuan dari pemilik tanah yang berbatasan
  4. pengujian mengenai kecocokan bukti pemohon dengan objek tanah. Serta kepentingan orang lain atas permohonen tersebut (oleh Panitia Pemeriksa Tanah).

Proses penetapan hak atas tanah berupa;
  • pencocokan dan pengolahan data
  • penetapan/keputusan hak atas tanah

proses pendaftaran:
  • pembuatan buku tanah dan pencatatan pada daftar isian       
  • penerbitan tanah bukti hak atas tanah

Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Dalam pasal 3 UUPA, hukum tanah nasional mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa dengan itu dari masyarakat hokum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada.
 
Realita yang ada banyak didaerah-daerah terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.Untuk itu pemerintah mengeluarkan suatu pedoman yaitu PMA/Kep BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
 
Pelaksanaan hak ulayat dianggap masih ada bila dicirikan sebagai berikut:
  1. terdapat sekelompok orang yang masih terasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari
  3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

Terkait dengan bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan ”hak ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda-beda. Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah ”tanah ulayat” selalu digunakan untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.

Secara umum, menurut Purbacaraka dan Halim, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indonesia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: ”hak ulayat” dan ”hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut.  Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.

Dalam banyak peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.

Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
 
Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius.
 
Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga – lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak – hak atas tanah. Pasal 5 UUP mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan denga peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
 
Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, denga tidak mengabaikan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.[1] Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
 
Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh  Prof. Dr. A. P. Parlindungan,S bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.
 
Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar-benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.
 
Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetap juga terdapat dalam peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian – perjanjian ataupun transaksi – transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian, Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa).
 
Bahkan dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat.
 
Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini.
 
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.

Pengadaan Tanah

Sistem pengadaan tanah secara umum terbagi dalam dua pengertian yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
 
Dalam arti luas pengadaan tanah meliputi:
  1. karena Undang-undang (UU No. 86 tahun 1956 Nasionalisasi dan UU N0. 3 Prp tahun 1960);
  2. berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara)
  3. berdasarkan penyerahan Kedaulatan Negara (Surat Edaran Depdagri No. H.20/5/7 tahun 1950 tentang Tanah yang diambil oleh balatentara Jepang)
  4. karena Penyerahan/Hibah
  5. karena Peraturan Tata Cara Pengadaan Tanah (Permendagri No. 5 tahun 1987 tentang Fasum Fasos;
  6. karena jual beli/pemilikan tanah(Bijblad 11372)

Dalam arti sempit dengan dua cara:
  1. Melalui acara pencabutan hak atas tanah (UU No. 20 tahun 1961 jo. PP no. 39 tahun 1971)
  2. Melalui tata cara pengadaan tanah (Perpres No. 36 tahun 2005 jo. Keppres No. 55 tahun 1993)

Pengadaan tanah tersebut diatas akan menjadi barang milik Negara karena berkaitan dengan system pengelolaan kekayaan/barang milik Negara.

Pendaftaran Hak Atas Tanah

Dasar Hukum : PP No 10 Tahun 1961 dan sejak 8 Oktober 1977 disempurnakan dengan PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah diberlakukan milai tanggal 24 September 1961berdasarkan pasal 19 UUPA.
Tujuan Memberi kepastian hokum dalam bidang pertanahan yaiti hak atas tanah Output dari pendaftaran tanah adalah Menghasilkan tanda bukti hak yaitu sertifikat hak atas tanah sebagai realisasi salah satu tujuan UUPA

Pelaksana Dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap dengan pertimbangan ketersediaan peta dasar pendaftaran.
Sertifikat hak atas tanah berisi :
  1. data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bangunan
  2. data yuridis (status tanah dan bangunan yang didata, pemegang hak atas tanah dan beban-beban yang lain yang ada diatasnya.

Manfaat sertifikat Hak Atas Tanah:
  1. mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa dengan pihak lain
  2. memprkuat posisi tawar menawar apabila hak atas tanah diperlukan pihak lain untuk kegiatan pembangunan
  3. mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak

Pendaftaran tanah meliputi :
  1. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
  2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah
  3. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

Pendaftaran tanah dimulai tgl 24 September 1961 berdsar ketentuan ps 19 UUPA yaitu untuk menjmin kepastian hukum tentang HAT.

SISTEM PUBLIKASI DALAM PENDAFTARAN TANAH

Yaitu mempermasalahkan sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yg disajikan oleh negara sehingga hasil kegiatan pendaftaran yg dilaksanakan dan apa akibat hukumnya apabila dalam melaksanakan perbuatan hokum dengan tanah tsb tidak terbukti benar.
 
Pendaftaran yg diselenggarakan system publikasmya negatif yg mengandung unsure positif, yaitu ps 19 (2) huruf c UUPA yg menyatakan pendaftaran meliputi; pemberian surat2 tanda bukti hak, yg berlaku sebagai alat pembuktian yg kuat. Hal ini juga dikuatkan dalam ps 23, 32, 38 bahwa ; pendagtaran merupakan alat pembuktian yg kuat.PP No. 10 tahun 1961 jo PP No. 24 tahun 1997, mengimplementasikan suatu stelsel negative, artinya Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.

DALAM SISTEM PEMBUKTIAN POSITIP;

Dlm system ini, negara menjamm kebenaran data yg disajikan. Hal ini sbg perwujudan ungkapan : " TI'T'LE BY REGISTRATION (DENGAN PENDAFTARAN DICIPTAKAN HAK ).DAN pendaftaran menciptakan suatu " INDEFEASIBLE TITLE " (HAK YG TIDAK DAPAT DIGANGGU GUGAT dan THE REGISTER IS EVERYTHING (untuk memastikan adanya suatu hak, dan pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya). Sekali didaffar pasti benar, hanya bisa menuntut pemberian ganti kerugian/ compensation berupa uang. Jadi negara menyediakan "ASSURANCE FOUND "Hal di atas tidak dikenal dlm UUPA.
 
Kalau system pendaftaran dengan system publikasi negatif yang murni menggunakan " Sitem Pendaftaran Akta "/ Regitration of deeds , jadi akta merupakan tanda bukti haknya. Kalau dalam PP 10/1961 dan PP 24/1997, sebagai halnya pendaftaran dengan dengan system publikasi positif, maka menggunakan yg disebut " system pendaftaran Hak " / Registration Of Title ". Jadi akta hanya merupakan sumber data yuridis. Pembukuan dilaksanakan dalam bentuk dokumen yang disebut buku tanah (register). Dokumen tanda buktinya berupa Sertifikat "Certificate Of Title " yg menurut PP 10/1961 jo PP 24/1997 terdiri salinan buku tanah dan surat ukur.
 

Kelemahan system Publikasi Negatif.

Biarpun sudah didaftar, dan ditrbitkan sertifikat, bila digugat oleh pemegang yang sebenarnya, dimungkinkan. Dan dibatalkan.
Sedangkan dalam system publikasi Positif : hal diatas tidakn mungkin terjadi, karena pendaftaran tanah tidak menciptakan hak yang dapat diganggu gugat.
Cara mengatasi kelemahan Publikasi Negatif yaitu
Dengan lembaga ;
  1. VERJARING, Pada masa Hindia Belanda, yaitu ps 584 KUHPerdata                    berdasar KUHP perdata tidak berlaku lagi
  2. RECHTSVERWERKING, pada masa sekarang.

VERJARING ; pihak yang menguasai tanah karena lampaunya waktu menjadi Pemiliknya.

RECHTSVERWERKING ; pihak yang mempunyai tanah karena Lampaunya waktu kehilangan haknya untuk memperoleh kembali. Contoh : menterlantarkan tanah
 
Lembaga RECHTSVERWERKING dalam PP 24/1997 menjadi pelengkap untuk mengatasi System Publikasi Negatif.
 
Peningkatan system publikasi menjadi positif secara bertahap, yaiti melalui pasal 32 ay 1,2 PP 24/1997 yaitu HAT hasil pendaftaran yang tidak mengalami gugatan, gugatan tidak diterima hakim, maka setelah 5 tahun se j ak diterbutkan sertifikat, maka oleh UU diterbitkan sehingga terdaftar dengan system publikasi positif.

Penanganan Masalah Pertanahan

Penanganan masalah pertanahan merupakan bagian tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. Masalah yang ditangani yaitu:
  1. Sengketa dan masalah pertanahan dalam segi administrasi. Sengketa dan masalh yang masih dapat diselesaikan sesuai dengan lingkup kewenangan administrasi. PP No. 40 tahun 1996, suatu hak atas tanah hapus dengan pembatalan peapabila ternyata kewajiban dan syarat-syarat tidak dipenuhi oleh penerima/pemegang hak atas tanah (pasal 17, 35, dan 55 PP tersebut, sepanjang pemegang hak atas tanah masih original.
  2. Sengketa dan masalah pertanahan yang menjadi obyek perkara di Pengadilan Negeri tergugat atau saksi. Senketa-sengketa di pengadilan dimana BPN menjadi pihak berperkara (tergugat). Kehadiran di pengadilan dilakukan sebagai pelaksana tugas pokok dan fungsi yang hadir langsung mempertahankan haknya sendiri di Pengadialn(Kep. KA. BPN No. 1 tahun 1989)
  3. Pelaksanaan putusan-putusan Pengadilan yang perlu dan ditindaklanjuti oleh BPN. Melaksanakan putusan-putusan pengadilan (PTU, umum/perdata, pidana bahkan Pengadial Agama). Baik yang diajukan sendiri dari pengadilan yang bersanmgkutan maupun pihak yang perkaranya dikabulkan oleh pengadilan.
  4. Kendala-kendala dalam melaksanakan tugas dan fungsi diatas adalah: adanya dua putusan pengadilan berkekuatan administrasi tetap yang isi/substansinya saling bertentangan atas satu lokasi tanah obyek perkara, adanya putusan pengadilan yang berkekuatan administrasif tetap atas suatu lokasi tanah yang secara fisik dilapangan, sudah tidak sesuai dengan keadaan pada saat diajukan gugatan, tidak diadakannya pengembalian batas pada obyek perkara ketika perkara berjalan, sehingga menimbulkan kesulitan pada saat eksekusi atas obyek yang salah.

BAB IV
KEBIJAKAN NASIONAL DI BIDANG PERTANAHAN

Penyempurnaan dan Reorientasi Hukum Tanah Nasional

Hal ini perlu dilakukan agar tersedia perangkat hokum yang secara lengkap dan jelas memuat ketentuan-ketentuan hokum yang dapat menghindarkan penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pembangunan diharapkan benar-benar didasarkan pada kebijakan baru, yang kembali pada semangat kebangsaan, kerakyatan, kebersamaan dan keadilan dari UUPA

Usaha penyempurnaan hukum tanah nasional akan berhasil mencapai tujuan bila pembangunan dalam era reformasi dilaksanakan dengan kebijakan baru seperti yang dinyatakan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Kebijakan pertanahan berbeda dan tidak  mengacu kepada Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, karena isinya disitu adalh “pembaruan” bukan “penyempurnaan”

Penyempurnaan mengandung arti membikin sesuatu yang sudah baik, menjadi lebih baik. Usaha penyempurnaan Hukum Tanah Nasional adalah:
 
Melengkapi isi UUPA yang merupakan peraturan dasar Hukum Tanah nasional dan memperbaiki rumusan-rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk Undang-undang dengan mempertimbangkan:
  1. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
  2. Hukum adat sebagai sumber utamanya, dilengkapi dengan lembaga-lembaga hukum baru dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang, menghadapi era globalisasi dan pelaksanaan kebijakan pemberian otonomi pada daerah
  3. Semangat, tujuan, konsepsi, asas-asas dasar lembaga-lembaga hokum dan system serta tata susunannya

Obyek pengaturan UUPA berdasar pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak terbatas pada tanah saja, tetapi bumi, air, ruang ankasa, maka dalam perkembagannya masing-masing sudah mendapat pengaturan sendiri-sendiri antara lain:
  1. Perairan UU No. 4 tahun 1960 tentang Wilayah Indonesia, UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
  2. Perikanan   UU No. 9 tahun 1985
  3. Pertambangan UU No. 44 tahun 1960 tentang Pertambangan minyak dan Gas umi
  4. Kehutanan UU No. 5 tahun 1967 jo 41 tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan
  5. Sumber daya alam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Penataan Ruang UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Akses Tanah Untuk Rakyat

9 UUPA merupakan realisasi prinsip kenasionalan UUPA dalam ayat 2 menyatakan “Tiap WNI, baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya bagi diri maupun keluarganya”.
 
Dalam kenyatannya, akses yang dijamin oleh UUPA sebagai yang tersebut dalam pasal 9 ayat 2 tersebut belum memperoleh makna yang kongkret. Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relative luas untuk berbagai keperluan (industry, pemukiman prasarana ) memaksa alih funfsi tanah pertanian menjadi tanah nonpertanian dengan segala konsekuensinya.
 
Sementara dikalangan petani jumlah mereka yang mempunyai tanah kurang dari 2 ha sejumlah 8 kali lipat dibandingka denga yang mempunyai tanah dibawah 2 ha.Pemilikan tanah yang minimum ini masim dimungkinkan menyusut lagi, karena adanya pewarisan.
 
dengan alih fungsi tanah pertanian, gejala yang diwaspadai lebih dari 20 tahun kenyatannya secara kuantitatif terus bertambah.
 
Upaya pencegahannya untuk tidak terjadinya alih fungsi tanah adalh melalui kebijakan pemberian ijin lokasi yang sudah terlanjur diberikan maupun yang belum diberikan, dan perlu penyempurnaan RTRW dibeberapa kabupaten.
 
perkotaan, tidak jauh beda dengan tanah di pedesaan, akses tanah untuk rakyat sulit didapat. Tetapi disisi lain terdapat badan hokum atau perorangan ada yang memiliki tanah berlebihan untuk investasi atau spekulasi.Walaupun sudah diatur dalm UU 56 Tahun1960 tentang batas pemilikan tanah agar diatur dengan PP, tetapi kenyataannya PP dimaksud sampai sekarang belum terwujud.
 

Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Menghadapi Era Globalisasi

Penyempurnaan yang dimaksud disini adalah yang berkaitan dengan penguasaan atas tanah. Misalnya ada tuntutan dalam kemudahan dalam memperolehnya terkait dengan dunia usaha. Dengan dimungkinkannya perubahan Hak Milik yang sudah bersertifikat menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai secara langsung. Dalam usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) memerlukan tanah yang berstatus Hak Milik, tidak lagi perlu ditempuh tata cara permohonan hak baru berupa Hak Guna Bangunan, yang diawali dengan cara pelepasan Hak Milik tersebut oleh pemiliknya, yang memerlukan waktu dan biaya.
 
Dalam bidang usaha real estate, agar dalam rangka masuknya peningkatan modal dan investasi dari luar, dimungkinkan perusahaan-perusahaan asing dan orang-orang asing menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang menurut ketentuan Hukum Tanah Nasional sekarang hanya dapat dipunyai oleh perusahaan-perusahaan Indonesia dan WNI.
 
Dalam rangka meningkatkan penanaman modal dibuka kemungkinan pemberian Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, yang dalam ketentuan peraturannya dibatasi 30-35 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang maksimal 20-25 tahun, pada pemberiannya untuk pertama kali ditetapkan selama sekitar 25-30 tahun, tetapi sekaligus disertai jaminan, bahwa pada waktunya akan diperpanjang jangka waktu berlakunya, diikuti denga pemberian hak baru, hingga akan terjamin penguasaan tanahnya untuk HGU selama 120 tahun dan untuk HGB 100 tahun.

Rus globalisasi tidak mungkin dicegah, antisipasinya adalah tersedianya perangkat hukum yang pada satu pihak dapat menciptakan situasi yang memungkinkan dimanfatkannya kelebihan pihak asing tersebut bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.

Pada pihak lain dapat member perlindungan kepada rakyat banyak, terutama para petani sebagai golongan terbesar rakyat Indonesia yang pada realitanya kedudukannya masih lemah, terutama dalam menghadapi pihak luar.

Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Rangka Mendukung Keberhasilan Kebijakan desentralisasi atau Pemberian Otonomi kepada Daerah

Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional diperuntukkan untuk mendukung otonomi daerah. Terkait dengan Otda sesuai dengan pasal 2 UUPA bahwa “Hak menguasai dari Negara pelaksanannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hokum adat”.

Dalam Penjelasan dinyatakan bahwa “ketentuan tersebut adalah bersangkutan dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat (pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan Hak Penguasaan Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind”.
 
Masalah  pelaksanaan kebijakan otonomi atau dengan sentralisasi di bidang agrarian dalam Tap MPR/IX/MPR/2001 yaitu “mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara, pemerintah (pusat, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat “berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agrarian/sumber daya alam”. Dan ini tetap dalam rangka “memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Tanah Sebagai Sumber Daya Alam Utama Dalam TAP MPR IX/MPR/2001

Tanah sebagai sumber daya alam utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur . Dalam TAP MPR IX/MPR/2001, “tanah” disejajarkan dengan sumber daya alam lainnya. Sebenarnya sifat sumber daya alam yang berupa tanah dan sumber daya alam lainnya adalah berbeda. Semua rakyat memerlukan tanah, Tanah terdapat dalam seluruh wilayah RI, dan tanah berfungsi langsung dalam mewujudkan masyarakat adil makmur.
 
Oleh karena itu sumber daya alam tanah disebutkan bersamaan dengan sumber daya air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu penyempurnaan UUPA sebaiknya menggunakan “Undang-undang tentang Pokok-pokok Hukum Tanah”
 
Kebijakan “pembaruan” dan” pengelolaan” ditetapkan dalam satu Ketetapan. Padahal sifat dan lingkup kegiatan serta tujuannya berbeda seperti yang tampak pada rumusan cakupan pengertia “pembaruan agraria” dan “pengelolaan sumber daya alam”, dalam pasal 2 dan 3. Maka prinsip-prinsip bagi pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam yang dirumuskan bersamaan satu pasal, yaitu pasal 4 menjadi tumpang tindih. Hal ini masalahnya memang berbeda, dalam pasal 5 penetapan arah kebijakannya dipisahkan masing-masing dalam ayat 1 dan ayat 2.

BAB V
PENGADAAN TANAH OLEH NEGARA UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Para Pihak Dalam Pengadan Tanah oleh Negara Untuk Kepentingan Umum

Dalam pasal 1 Perpres No. 65 tahun2006 yang dimaksud “pengadaan tanah” adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.
 
Pasl 2 ayat 1 menyatakan: “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.
Pasal 2 ayat 2 Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”
 
Dalam Peraturan Kep BPN tentang Pelaksanaan Perpres No 36 tahun 2005 yang dirubah dengan Perpres 65 tahun 2006 dalam Bab I disebutkan:
  1. Instansi Pemerintah adalh Lembaga Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
  2. Pemilik adalah pemegang hak atas tanah, dan/atau pemilik bangunan, dan/atau pemilik tanaman, dan/atau pemilik benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah
  3. Lembaga Penilai Harga Tanah adalah lembaga professional dan independen yang mempunyai keahlian dan kemampuan di bidang penilaian harga tanah.
  4. Tim Penilai Harga Tanah adalh tim yang di bentuk dengan Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur untu Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk menilai harga tanah, apabila di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan atau sekitarnya tidak terdapat Lembaga Peniali Harga Tanah.

Perencanaan
Untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan paling lambat 1 (satu) tahun sebelumnya, yang menguraikan:
  1. maksud dan tujuan pembangunan
  2. letak dan lokasi pembangunan
  3. luasan tanah yang diperlukan
  4. sumber pendanaan
  5. analisis kelayakan lingkungan perencanaan pembangunan, termasuk dampak pembangunan berikut upaya pencegahan dan pengendaliannya.

Tata Cara Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembanguna Untuk Kepentingan Umum.

Untuk mengetahui hal ini perlu dibedakan antara:

Pengadaan tanah yang luasnya Lebih dari 1 (satu) hektar

Pertama-tama sesuai dengan pasal 15 Perpres 36 tahun 2005 dan diubah dengan Perpres 65 tahun 2006, maka dibentuk Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota paling banyak 9 orang dengan susunan sebagai berikut:
  1. Memberikan penjelasan dan penyuluhan kepada masyarakat
  2. Mengadakan penelitian dan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman
  3. Mengadakan penelitian status hokum tanah
  4. Mengumumkan hasil penelitian
  5. Menerima hasil penilaian harga tanah dan/atau bangunan, tanaman dari Lembaga dari Tim Penilai Harga Tanah
  6. Mengadakan musyawarah dengan pemilik tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk dalam menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi
  7. Menetapkan besarnya ganti rugi
  8. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi
  9. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak
  10. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan
  11. Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota, apabila musyawarahtidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan

Penunjukan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah

Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota menunnjuk Lembaga Penilai Harga Tanah yang telah ditetapka oleh Bupati/Walikota, dan lembga ini harus sudah mendapat lisensi dari BPN RI.Sedangkan keanggotaan Tim Penilai Harga Tanah adalaH:
  • unsur instansi yang membidangi bangunan dan/atau tanaman
  • unsur instansi pemerintah pusat yang membidangi pertanahan nasional
  • unsur instansi Pelayana Pajak Bumi dan Bangunan
  • ahli atau orang yang berpengalaman sebagai penilai harga tanah
  • akademisi yang mampu menilai harga tanah dan/atau banguna dan/atau tanaman dan/atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Hal ini bias ditambah dari unsure Lembaga Swadaya Masyarakat )LSM).

Pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar

Pengadaan tanah yang luas tanahnya tidak lebih dari 1 hektar dilaksanakan secara langsung melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak tanpa bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat Kabuparten/Kota atau dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk tanah yang sudah bersertifikat cukup dengan pelepasan/penyerahan hak atas tanah dengan membuat pernyataan pelepasan hak bahwa tanah digunakan untuk instansi pemerintah yang membutuhkan tanah. Dan instansi pemeri ntah memberikan ganti rugi.Pelaksanaanya bias di hadapan Kepala BPN Kota /Kabupaten, PPAT, Camat.

Prosedur Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Instansi Pemerintah dan Upaya Hukum

Pemilik tanah yang keberatan terhadap keputusan penetapan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang diterbitkan oleh Panitia Pengadaan Tanah tingkat Kabupaten/Kota, dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota disertai dengan penjelasan-penjelasan dan sebab-sebab serta alasan keberatannya paling lambat 14 hari. Selanjutya Bupati/Walikota paling lama 30 hari sesuai dengan kewenangannya harus memberiakan putusan. Bentuk keputusa Bupati/Walikota dapat mengukuhkan, atau merubah bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Apabial upaya penyelesaian yang ditempuh Bupati/Walikota tetap tidak diterima oleh pemilik dan lokasi pembangunan tidak bias dipindahkan, maka Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya mengajukan usul penyelesaian dengan cara Pencabutan Hak Atas Tanah berdasarkan UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda –benda yang Ada di Atasnya.

Penitipan Ganti Rugi

Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota memerintahkan kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah kepada Pengadilan Negeri bila:
  1. Yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui keberadaannya
  2. Tanah, bangunan,dll sedang menjadi obyek perkara di pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hokum tetap
  3. Masih dipersengketakan kepemilikannya
  4. Tanah, bangunan dll sedang diletakkan sita oleh pihak yang berwenang

BAB VI
PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH

Senketa dalam hak atas tanah adalah:
  1. keabsahan suatu hak atas tanah
  2. pemberian hak atas tanah
  3. pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya

Senketa dalam hak atas tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Senketa pertanahan yang Bersifat Politis

Sengketa pertanahan yang bersifat politis dicirikan:
  • melibatkan masyarakat banyak
  • menimbulkan keresahan dan kerawanan masyarakat
  • menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah/penyelenggara Negara
  • mengganggu penyelenggaraan pembanguna nasional, serta menimbulkan bahaya disintegrasi bangsa

Pada umumnya sengketa pertanahan yang bersifat politis tidak didasarkan pada alasan yuridis, melainkan cenderung memanfaatkan isu populis sehingga terbentuk opini masyarakat, yang bermuara terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Keadaan demikian selanjutnya akan mengganggu social, ekonomi, maupun keamanan.
Senketa yang bersifat politis disebabkan:
  • Ekploitasi dan dramatisasi ketimpangan-ketimpangan keadaan penguasaan dan pemilikan tanah didalam masyarakat
  • Tuntutan keadilan dan keberpihakan pada golongan ekonomi lemah

Sedangkan bentuknya dapat dilakukan dengan:
  • Unjuk rasa
  • Penekanan-penekanan kepada institusi pemerintah, ini dapat dialkukan dengan:
  • Menyalurkan aspirasi masyarakat melalui LSM,DPR, Komnas HAM, Komisi Ombudsman dan lembaga peradilan.

Bentuk-bentuk senketa pertanahan yang bersifat strategis antara lain:
  • Tuntutan pengembalian hak (reclaiming action)
  • Tuntutan pengembalian tanah garapan yang kini dikuasia pihak lain
  • Penyerobotan tanah-tanah perkebunan
  • Pendudukan tanah-tanah asset instansi pemerintah
  • Tuntutan pemberian hak atas tanah bekas tanah partikelir yang diduduki rakyat
  • Tuntutan pengembalian tanah sebagai akibat pembebasan tanah untuk pembangunan di masa lalu
  • Tuntutan tanah masyarakat hokum adat atas tanah hak ulayat di wilayahnya
  • Tuntutan pengembalian tanah yang dikuasai rakyat dalam skala besar yang diambil alih pihak tertentu
  • Tuntutan redistribusi tanah yang terkena obyek Landreform
  • Tuntutan pengembalian tanah yang penggunaanaya tidak sesuai denga ijin lokasi
  • Masalah tanah milik organisasi terlarang dll

Sengketa Pertanahan yang Beraspek social-ekonomi

Masalh ini timbul sebagai akibat ketimpangan dan kecemburuan social dalam pemilikan tanah antara masyarakat denga pemilik tanah luas (perusahaan).Hal ini bias terjadi penyerobotan tanah yang bukan miliknya. 

Faktor pendoronya adalah pemilik tanah tidak memperhatikan kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, umpamanya:
  • Mengusahakan tanahnya secara aktif
  • Menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanahnya
  • Menjaga batas-batas tanah
  • Mengusahakan tanahnya sesuai dengan peruntukannya.

Sebagai akibat tidak dipenuhinya peraturan-peraturan tersebut diatas menyebabkan sengketa pertanahan antara pemilik tanah dengan pihak-pihak yang menguasai secara tidak berhak tersebut.
Penyebab yang lain adalah, kurang adanya pemertaan penguasaan dan pemilikan tanah dan kurang tersedianya lapangan kerja.

Sengketa Pertanahan Yang Bersiafat Keperdataan

Sengketa ini berkaitan dengan hak-hak keperdataan baik subyek maupun pihak lain yang berkepentingan terhadap obyek haknya (tanah). Yang menjadi pokok persoalan adalah berkaitan denga kepastian hokum atas tanahnya.
 
Perlu diketahui bahwa proses penetapan suatu hak atas tanah, termasuk penerbitan dan keputusan dan sertifikatnya tergantung data fisik, yuridis, dan pengadministrasiannya. Bila ini mengandung kelemahan maka, kualitas kepastian hokum mengeani hak atas tanah mengandung kelemahan juga, yang berimplikasi suatu saat dapat dibatalkan apabila terbukti cacat administrasi atau cacat hukum.
 
Sistem publikasi dalam pendaftaran tanh adala menganut stelsel negative, ini tidak memberikan jaminan kepastian hokum secara mutlak. Kepastian hokum dicapai bila data fisik, data yuridis dan administrasi sesuai dengan realita dilapangan, bila ini tidak dicapai maka, hak atas tanag dimungkinkan untuk dibatalakan.

Sengketa Pertanahan Yang Bersifat Administrasi

Sengketa Pertanahan yang bersifat administrasi disebabkan adanya kesalahan penetapan hak dan pendaftarannya. Hal ini disebabkan:
  1. Kekeliruan penerapan peraturan
  2. Kekeliruan penetapan subyek hak
  3. Kekeliruan penetapan obyek hak
  4. Kekeliruan penetapan status hak
  5. Masalh prioritas penerima hak atas tanah
  6. Kekeliruan penetapan letak, luas dan batas,
  7. Dll

Kekelirua-kekeliruan diatas biasanya disebabkan kekurangcermatan penetapan hak oleh pejabat administrasi (BPN). Upaya penyelesainnya adalah:
  1. Dilakukan secara administrasi pula
  2. Bentuknya adalah, pembatalan, ralat atau perbaikan
  3. Melalui pengadilan

Pada hakekatnya konflik pertanahan tersebut disebabkan:
  • Administrasi pertanahan di masa lalu yang kurang tertib
  • Peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih bahkan saling bertentangan
  • Penerapan hokum pertanahanyang kurang konsisten
  • Penegakan hokum yang belum dapat dilaksanakan secara konsisten.

Penyelesaian Tanah absente

Dalam kaitannya dengan penyelesaian tanah absente ada Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahhun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
 
Dalam PEnjelasan Umum dijelaskan supaya tidak merugikan kepentingan umum pemilikan dan penguasaan tanah dibatasi. Dalm UU No. 56 Prp 1960 ditentukan

Bagi tanah-tanah yang melebihi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undanga maka jumlah kelebihan itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi, yang selanjutnya tanah tersebut nantinya akan dibagi kepada petani sebagai upaya Landreform.
 
Sedangkan luas minimum adalah 2 hektar untuk tanah pertanian, baik sawah maupun tanah kering.  
 
Disamping itu ada  Perubahan dan Tambahan Pertauran Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
 
Dalam Penjelasa Umum disebutkan, prinsip bahwa setiap orang atau Badan Hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemesan.
 
Dalam PP 224 tahun 1961 ditentukan “pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat diluar kecamatan tempat letak tanah, selama 2 tahun  dan ia melaporkannya, maka dalam waktu 1 tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu tersebut, diwajibkan memindahkan hak milik atas tanah kepada orang lain yang bertempat tinggal dalam 1 kecamatan letak tanah itu.
Pasal 3d disebutkan “Dilarang untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan dimana ia bertempat tinggal”.

BAB VII
MEDIASI SENGKETA PERTANAHAN/ALTERNATIF PENYELESAIAN  SENGKETA (ADR)

Keberadaan Mediasi dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif/ADR (Alternative Dispute Resolution)

Mediasi adalah salah satu proses alternative penyelesaian masalah dengan bantuan pihak ketiga (mediator) dan prosedur yang disepakati oleh para pihak dimana mediator memfasilitasi untuk dapat tercapai suatu solusi (perdamaian) yang saling menguntungkan para pihak.
 
Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk jajaran BPN RI yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya.
Kasus-kasus yang menyangkut sengketa tanah tidak pernah surut.Bahkan mempunyai kecenderungan yang semakin meningkat, baik kompleksitas permasalahannya maupun kuantitas seiring dinamika di bidang ekonomi, social dan politik.
 
Dampak semakinmemburuknya situasi ekonomi mendorong kasus-kasus pendudukan tanah oleh masyarakat untuk ditanami pangan, misalnya yang terjadi di lapangan golf Cibodas, sebagai kawasan berjualan di tanah kosong PT Bogasari, di jalan Raya Ciledug, tangerang adalh sebagai gambaran bibit-bibit sengketa pertanahan.
 
Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan dapat dibagi menjadi:
Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain
Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan Landreform
Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan
Sengketa perdata berkenaan dengan masalh tanah
Sengketa berkenaan denga tanah ulayat.
 
Terhadap kasus-kasus penggarapan rakyat atas tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain, berdasarkan pengalaman, tampaknya penyelesaian yang lebih efektif adalh melaui jalur nonperadilan yang pada umumnya ditempuh melaui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak.
 
Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/mediasi mempunyai kelebihan bila dibandingkan penyelesaian melalui pengadilan, yang tidak menarik dari se gi waktu, biaya, pkiran, tenaga. Disamping itu kepercayaan kemandirian lembaga peradilan dan kendala administrative yang melingkupinya, membuat pengadilan adalh sebagai upaya terakhir untuk penyelesaian sengketa.
 
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan persamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Jadi dengan penyelesaian win-win solution. Upaya untuk mencapai win-win solution ditentukan menurut Bevan, 1992:3-4 diantaranya:
 
Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan, pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak .
Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lainnya.
 
Penyelesaian sengketa melalui ADR secara implicit dimuat dalam Perpres No. 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional(BPN). Dalam struktur organisasi BPN, dibentuk satu kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketadan Konflik Pertanahan.BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melaui Keputusan Kep BPN RI No. 34 tahun 2007.Dalam menjalankan tugasnya menangani senketa pertanahan BPN melakukan upaya antara lain melaui mediasi. Selanjutnya dikeluarkan peraturan yaitu Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi.

Peranan ADR dalam Konflik Pertanahan

Dalam perjalanan waktu upaya untuk melembagakan kembali cara penyelesaian sengketa alternative seperti mediasi, konsiliasi, dan lain-lain dengan memasukkannya dalam peraturan perundang-undangan. Pelembagaan kembali cara penyelesaian sengketa alternative sanga tergantung pada factor budaya. Perbedaan kondsi sosisl budaya menyebabkan perbedaan terhadap proses penataan dan penggunaan serta penguatan cara-cara tersebut.
 
Didaerah-daerah tertentu missal di Sumatera Barat yang masih mempertahankan tradisi sejak dahulu, penggunaan penyelesaian sengketa alternative telah diperkuat melaui peraturan daerah dengan menekankan bahwa setiap sengketa di bidang pertanahan hendaknya diselesaikan terlebih dahulu melaui Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebelum diajukan ke lembaga penyelesaian sengketa yang lain seperti pengadilan. TEtapi didaerah lain yang kelekatan tradisinya sudah mulai menurun, penggunaan ADR lebih bersifat pilihan, yaitu tergantung kemauan dari pihak yang bersengketa.
 
Tipe Mediator adalah:
Mediator Jaring Sosial (Social Network Mediator)
Tokoh-tokoh masyarakat/informal missal: ulama, atau tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dll
Biasanya mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat
Penyelesaian sengketa didasari nilai-nilai social yang berlaku: nilai keagamaan/religi, adat kebiasaan, sopan santun, moral dll.
Mediator sebagai Pejabat yang berwenang (Authoritative Mediator)
Tokoh formal missal: pejabat-pejabat yang mempunyai kompetensi di bidang sengketa yang ditangani
Disyaratkan orang yang mempunyai pengetahuan dengan sengketa yang ditangani
Mediator Independen (Independent Mediator)
Mediator professional, orang yang berprofesi sebagai mediator, mempunyai legitimasi untuk melakukan negosiasi-negosiasi dalam mediasi
Konsultan Hukum, pengacara, Arbiter
Mekanisme mediasi dilakukan dengan:
Persiapan mempertemukan kedua belah pihak
Undangan
Kegiatan mediasi
Menyamakan pemahaman dan menetapkan agenda
Identifikasi kepentingan
Generalisasi Opsi-opsi pihak
Penentuan opsi yang dipilih
Negosiasi akhir

Keputusan Penyelesaian sengketa Pertanahan melaui ADR

Setelah melalui beberapa mekanisme diatas, maka pada point kedelapan yaitu Negosiasi Akhir, yaitu:
Para pihak melakukan negosiasi final yaitu klarifikasi ketegasan mengenai opsi-opsi yang telah disepakati bagi penyelesaian sengketa dimaksud.
Hasil dari tahap ini adalah putusan penyelesaian sengketa yang merupakan kesepakatan para pihak yang bersengketa, kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi opsi yang diterima, hak dan kewajiban para pihak.
Klarifikasi kesepakatan kepada para pihak
 
Penegasan / klarifikasi ini diperlukan agar para pihak tidak ragu-ragu lagi akan dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan sukarela melaksanakannya
 
Formalisasi kesepakatan penyelesaian sengketa
Dirumuskan dalam bentuk kesepakatan atau agreement  /perjanjian
DEngan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut pelaksanaanya menjadi kewenangan pejabat Tata Usaha Negara (TUN)
 
Setiap kegiatan mediasi hendaknya dituangkan dalam Berita Acara Mediasi
Hasil mediasi dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindak lanjuti sesuai peraturan yang berlaku
 
Formalisasi kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format perjanjian
 
Dalam setiap mediasi perlu dibuat laporan hasil mediasi yang berlangsung
Agar mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator
 

Kasus-kasus Sengketa Melaui ADR

Penerapan ADR dibidang Pertanahan Di Berbagai Daerah
Pengelolaan Konflik Pertanahan Di Sumatera Barat
 
Sumatera Barat menjadi cotoh yang tipikal terkait penyelesaian sengketa dengan menggunakan ADR. Di Sumatera Barat prosesnya sudah terlembagakan yaitu adanya Kerapatan Adat Nagari (KAN), yang diperkuat oleh Perda. Tetapi ada juga pennyelesaian sengketa melui KAN dan diluar KAN
Gambaran persoalan yang menjadi sumber konflik/sengketa adalh sbb:
 
Tanah Kaum (Hak Milik Komunal) telah diberikan kepada anggotanya, yaiyu seorang kemenakan, Tanah tersebut kemudian dijual oleh pihak kemenakan kepada orang lain. Hasil penjualan seluruhnya diambil oleh kemenakan tersebut, padahal menurut Mamak Kepala Warisnya, ia berhak memperoleh sebagian dari hasil penjualan tersebut. Ketika jual beli tanah tersebut diproses pensertifikatannya, Mamak Kepala Waris mengajukan permohonan kepada BPN setempet untuk menghentikan proses sertifikasi sampai ada penyelesaian hak-hak Mamak Kepala Waris.
 
Sengketa antara pemilik tanah yang sedang digadaikan denga pemegang Hak Gadai atas tanah tersebut. Sengketa terjadi karena, tanah yang sedang dibebani Hak Gadai dijula kepada orang lain. Menurut ketentuan hokum adat, tanah yang dibebani Hak Gadai berada dibawah kekuasaan pemegang Hak Gadai. Karena penjualan tersebut tidak diberitahukan kepada pemegang Hak Gadai, maka ketika jual beli didaftarkan, pemegang Hak Gadai mengajukan keberatan dan menuntut agar prosesnya dihentikan sampai utang yang dijamin dengan tanah dilunasi.
 

Penerapan ADR dalam sengketa pertahan di Lampung

Sengketa pertanahandi Lamung didominasi sengketa yang bersifat vertiakl disbanding horizontal. Sengketa vertical terjadi antara masyarakat disatu pihak denga pemerintah dipihak lain. Konflik pertanahan secara vertiakl disebabkan:
 
Sengketa dipicu denga kebijakan pertanahan yang mengandung potensi berkembangnya konflik. Misal sengketa warga dengan PT Dharmala Hutan Lestari. Di tingkat daerah warga diberi ijin penggarapan atas tanah yang disengketakan. Di tingkat pusat, diambil kebijakan memberikan tanah yang digarap masyarakat kepada PT tersebut.
 
Kebijakan pertanahan yang kurang memperhatikan aspek pemerataan dan keadilan, missal dalam obyek tanah Landreform yang seharusnya tidak berhak menerima , menjadi menerima tanah.
 
Adanya fenomeba intensifnya keterlibatan pemerintah yang bersaing dengan masyarakat, untuk menguasai tanah yang bersangkutan. Misal sengketa tanah eks perkebunan Way Ratay antara Korem dan warga.
Terjadinya tumpang tindih pemilikan tanah sengketa, disebabkan terjadinya pemilikan tanah oleh dua pihak dalam kurun waktu yang berbeda dan terjadi tumpang tindih kepemilikan karena perbedaan dalam sertifiakat dengan tanah yang secara fisik dikuasainya.

BAB VIII
PENATAGUNAAN TANAH

Penatagunaan Tanah

Dasar peraturan yaitu dalam Perpres RI No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
 
Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait engan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan system untuk kepentingan masyarakat secara adil.
 
Asas dan tujuan penatagunaan tanah adalah keterpaduan, berdayaguna, dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hokum.
 
Pokok-pokok penatagunaan tanah yaitu:
Dalam rangka pemanfatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah
Penataan tanah meruopakan kegiatan di bidang pertanahan di kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Penatagunaan tanah diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap:
bidang tanah yang sudah haknya baik yang sudah atau belum terdaftar
tanah Negara yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara yang bukan tanah ulayat
tanah ulayat masyarakat hokum adapt sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terhadap hal-hal diatas maka penggunaan serta pemanfatannya harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
 

Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Penertban dan pendayagunaan tanah terlantar diatur dalam Perpres RI No. 36 tahun 1998. Hal ini perlu dialkukan mengingat:
 
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungus social, maka setiap orang dan badan hokum atau instansi yang berhubungan hokum dengan tanah, wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadinya kerusakan sehingga lebih berdaya guan dan bermanfaat bagi masyarakat
 
dalam kenyataannya, masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hokum atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadannya  atau sifat dan tujuan haknya
 
Hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan sesuai denag UUPA

Terkait denga penertban dan pendayagunaan tanah terlantar maka ada beberapoa ketentuan berdasar UUPA bahwa:
Pasal 15 UUPA, bahwa, memelihara tanah adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hokum atau insatansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah
Pasal 27 UUPA, Hak milik hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena diterlantarkan
Pasal 34 UUPA, Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan
Pasal 40 UUPA, Hak Guna Banguna  hapus karena diterlantarkan.

Arti tanah diterlantarkan yang menjadi kriterianya  tidak secara tegas disebutkan dalam UUPA. Dalam Penjelasan pasal 27 UUPA disebutkan “tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadannya atau sifat dan tujuan daripada haknya”.Kekurang jelaskan ini menyebabkan ketentuan mengenai hal ini sulit doterapkan.
 
Penyebab tanah terlantar bermacam-macam, hal ini tidak bias disalhkan kepada salah satu pihak saja , yaitu pemegang haknya atau pihak yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah. Keadan kemampuan pemegang hak bermacam-macam. Oleh karena itu pemerintah menerapakan
 
Untuk pemegang hak yang tidak dapat menggunakan tanahnya sesuai ketentuan yang berlaku karena tidak mempunyai kemampuan ekonomi, maka tanahnya tidak akan dinyatakan sebagai tanah terlantar, melainkan akan dibantu untuk pendayagunaan tanah itu.
 
Untuk ketegasan mengenai kapan sebidang tanah menjadi tanah terlantar, maka diperlukan pernyataan tertulis dari Menteri atau atas nama Menterimbahwa sebidang tanah telah terlantar
 
Kepada pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan hokum denga tanah diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk menghindarkan tanahnya dinyatakan sebagai tanah terlantar.

Izin Lokasi

Peraturan tentan izin lokasi diatur dalam PMA/Kep BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Hali dilakukan denga pertimbangan bahwa :
 
Dalam rangka penanaman modal terkait denga perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan penanaman modalnya maka perlu izin lokasi
 
Pemberian izin lokasi merupakan pengarahan lokasi penanaman modal sebagai pelaksanaan rencana pananaman modalnya.
Pemberian izin lokasi ini, diperluas sehinggga tidak terbata pada penanaman modal saja
 
Arti Izin Lokasi adalah sesiau pasal 1 PMA tersebut diatas adalah, izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.

Tanah yang dapat ditunjuk dengan izil lokasi adalah, tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan pleh perusahaan menurut persetujuan penanaman yang dipunyainya.
Jangka waktu izin lokasi:
Izin lokasi seluas sampai dengan 25 ha: 1 tahun
Izin lokasi seluas lebih dari 25 ha s/d 50 ha: 2 tahun
Izin lokasi seluas lebih dari 50 ha: 3 tahun

Hak dan kewajiban pemegang izin lokasi:Pemegang izin lokasi dizinkan membebaskan tanah dalam areal izin lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasar kesepakatan dengan pemegang hak dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai peraturan
 
Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang izin lokasi, sesuai hak dan kepentingan pihak lainyang sudah atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui.
Pemegang izil lokasi wajib menghormati kepentingan pihak lain atas tanah yang dibebaskan
 
Sesudah tanah yang bersangkutan dibebaskan dari hak dan kepentingan lain, maka kepada pemegang izin lokasi dapar diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.

Pemanfatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan

Pemanfatan tanah kosong untuk tanaman pangan diatur dalam PMA/Kep BPN Nomor 3 tahun 1998 tentang Pemanfaatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan.
 
Pemanfatan tanah kosong untuk tanaman pangan perlu dilakukan dengan pertimbangan:
 
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social, maka setiap orang, badan hokum, atau instansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat
 
Banyak bidang-bidang tanah yang sementara menunggu digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku, dibiarkan kosong, sehingga tidak memberikan manfaat bagi masyarakat
 
Dalam rangka memelihara pertahanan pangan nasional perlu menetapkan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah untuk memanfatkan tanah kosong

Maksud tanah kosong:
Tanah kosong adalah:
  • Tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Banguna dan Hak Pakai
  • tanah Hak Pengelolaan
  • tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pemegang hak atas tanah yang dimaksud adalah:
perorangan atu badan hokum yang menjadi pemeganh hak atas tanah
perorangan atau badan hokum yang telah memperoleh penguasaan atas tanah, akan tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Instansi pemerintah, Pemda, atau badan lain yang diberi pelimpahan kewenangan pelaksanaan sebagian hak menguasai dari Negara atas tanah Negara dengan pemberian hak pengelolaan.
 
BAB IX
TANAH, HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN

Makna Keadilan

Makna keadilan seperi yang dijelaskan oleh Aristoreles,  dan juga konsep keadilan (social)  yang tercantum dalam sila ke 5 Pancasila serta oleh para pemikir sebelumnya, memang tidak mudah untuk dipahami, terlebih bila harus berhadapan pada kasus yang kongkret.
 
Bagi Indonesia kiranya dengan falsafah Pancasila, maka paling tepat kiranya untuk mengimplementasikan asas keadilan social. Makna keadilan itu sendiri bersifat universal, jauh di dalam lubuk setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.
 
Dalam pengertian keadilan, secara umum diberikan pengertiansebagai keadilan “membagi” atau distributive justice , yang secara sederhana menyatakan, bahwa kepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Perlu dipahami, keadilan bukanlah hal yang statis, tetapi merupakan proses yang dinamis dan selalu bergerak diantara berbagai factor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri.
 
Dalam realitanya, setiap orang berbeda dalam hal kemampuan dan kebutuhannya bila dibandingkan orang lain. Dalam situasi dimana orang lebih banyak membutuhkan sesuatu, namun kemampuan untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidakadialn. Perkecualian ini mendapat perlakuan yang khusus dapat dialkukan, asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal inilah disebut corrective justice atau positive discrimination.
Tidak mudan untuk menentukan pilihan antara memutuskan sesuatu yang secara formal memenuhu syarat, namun tidak memenuhi syarat keadilan secara substansian, atau mengutamakan terpenuhinya keadilan secara substansial namun secara formal tidak memenuhi syarat.

Tanah dan Hak Asasi Manusia

Pada tanggal 10 Desember 1994, kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia, ini penting dalam rangka kita memikirkan hak ekonomi setiap manusia, khususnya hak pemenuhan kebutuhan dasar terhadap papan dan pangan, yakni hak untuk memperoleh kesempatan yang sama atas perolehan sumber daya tanah serta pembagian hasilnya yang adil
UUD 1945 memberikan jaminan bagi setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2). Untuk mencapainya setiap warga Negara dalam hal ekonomi harus diperhatikan , dihormati danm dilindungi.

Meningkatkan Kualitas Keputusan Pengadilan

Masalh tanah dari segi yuridisnya merupakan sesuatu hal bersifat kompleks. Dalam seuatu kasus, tidak jarang terlibat beberapa instansi yang berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan. Kesamaan konsep diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang menghasilkan keputusan yang solid, adil bagi pihak-pihak yang meminta keadialn.
 
Permasalhan yang memerlukan persamaan persepsi misalnya:
Hak ulayat suatu masyarakat hokum adat. Hal ini meliputi:
konsepsinya
criteria berlakunya
ganti kerugian yang diberikan jika tanahnya untuk pembangunan
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
Sertfikat sebagai tanda bukti hak atas tanah
tanah Negara
Penggarapan rakyat atas tanah-tanah bekas perkebunan, tanah kehutanan dal lain-lain yang meliputi status tanah, penguasaan defacto rakyat, prinsip penyelesaian yang sesuai ketentuan yang berlaku
Pemindahan hak atas tanah jual beli, yang tetrkait dengan syahnya jual beli, funfsi pendaftaran hak atas tanah, perlindungan terhadap pihak ketiga dan lain-lain.

Membaca dan memahami Undang-Undang

Membaca undang-undang merupakan proses berpikir yang cenderung reaktif karena mendasarkan penilain lebih pada apa yang tersurat atau bersifat harfiah semata. Memahami undang-undang merupakan proses berpikir reflektif yang menunjukkan upaya untuk tidak sekedar berhenti pada hal-hal yang bersiafat harfiah semata, namun berusaha menemukan makna yang tersirat yang justru tidak tampak dari bunyi pasal tersebut.
 
Cara berpikir reflektif yang selalu mengaitkan antara konsep dan operasional yang akan menghasilkan penilain yang obyektif merupakan tugas yang memakan waktu lama dan pikiran yang barangkali kurang sesuai bagi mereka yang terbiasa dengan budaya instant.
 
Pemikir reaktif melihat suatu peristiwa hokum dan menghubungkan dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dengan lebih menitikberatkan pada penemuan jawaban terhadap “apa” hukumnya dan “bagaimana” menerapkan dalam peristiwa konkret tersebut. Sedangkan pemikir reflektif berusaha menghubungkan antara apa yang dimaksudkan oleh bunyi pasal tersebut dengan “mengapa”, yakni konsep/asas yang mendasarinya. Kemudian, berupaya “bagaimana” menerapkannya dalam pe5ristiwa konkrit, sesuai denga pesan yang termuat dalam konsep/asas yang mendasarinya, yang secara umum bertujuan untuk memberikan keadilan bagi setiap orang. Tampaknya pertanyaan “mengapa” ini cenderung dihindari, padahal wacana moral dan etika justru erat kaitannya dengan pemahaman tentang konsep/asas yang tersembunyi di balik suatu pasal.

8 comments for "Resume Mata Kuliah Hukum Agraria (Pertanahan) - roedyLawyers"

  1. artikelnya mudah dipahami
    sangat membantu kuliah saya
    terimakasih dan semoga sukses

    ReplyDelete
  2. terima kasih. resumnya mudah dipahami dan sangat membantu.

    ReplyDelete
  3. Terimah kasih atas bantuan resumenya.
    Sobat siapa pengarang buku yang di resume ini?

    ReplyDelete
  4. artikel yang mudah dipahami
    tapi boleh nanya kepanjangan hgu dan hgb apa ya?

    ReplyDelete